Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Cerpen’ Category

Sangkar Madu

Setiap kali aku berada di depanmu ingin rasanya mengungkapkan isi hatiku ini, tapi bibir ini tak dapat kugerakkan.

*****

S

udah lama aku memendam perasaan ini, aku jatuh cinta padamu sejak pandangan pertama. Saat itu aku pertama kali datang ke ruangan ini, ruangan sempit yang berukuran kira-kira 3×3 meter dimana tempat aku bekerja.

Di dalam ruangan ini entah berapa orang yang sudah menjamah diriku atau hanya memandang tubuhku. Ada yang mencibir tetapi ada juga yang mengagumiku. Aku tak tahan dengan pekerjaan ini, rasanya ingin menangis setiap hari tapi pekerjaan menuntutku untuk tetap tersenyum genit kepada semua orang. Sampai aku bertemu dengan kau, kaulah yang terus menghiasi hari-hariku.

Aku melihat sorot kasih sayang dari matamu, kau selalu membisikkan kata-kata manis di telingaku dan terus memberiku semangat. Tidak ada tersirat kau ingin mencelakaiku. Untuk pertama kali aku masih merasa takut ketika kau menjamahku, aku takut kau akan meninggalkanku setelah itu. Tapi kau berbeda dari yang lain, kau tetap setia padaku. Kau selalu datang tiap hari lebih awal dari yang lainnya hanya untuk memandangi diriku dengan sorot matamu itu, kau selalu menjadi orang yang paling akhir yang menemaniku dengan sentuhan lembutmu itu. Aku pasrah terhadap dirimu, aku tulus mencintaimu.

Pagi itu seperti biasanya dia mengucapkan:

“Cantik sekali kau hari ini” Dibisikkannya di relung telingaku. Sambil membelai lembut rambutku.

Jari itu… jari itu terasa lembut sekali di kulitku, aku tak kuasa. Sehelai demi helai mulai dilepaskannya pakaian yang menutupi tubuhku, hingga tak ada sehelai benangpun yang menutup tubuhku. Dia menelanjangiku. Dan aku menerima ini menjadi sebuah penghormatan, karena aku percaya padanya, hanya padanya aku percaya.

Sudah tak terhitung lagi berapa kali dia menelanjangiku dan tak tentu pula kapan dia akan menelanjangiku. Bisa sebulan sekali, dua minggu sekali, atau bahkan seminggu tiga kali. Aku menerimanya dengan tulus hati, tak ada rasa kecewa terhadap perbuatannya. Aku tulus mencintainya…

Aku tak tau siapa diriku. “Sora” Begitulah dia selalu memanggilku.

“Sora yang cantik, Sora yang manis, Soraku sayang” Melayang diriku ketika dia mengucapkan kata-kata itu. Seumur hidupku tak pernah ada yang menyayangiku seperti itu bahkan orangtuaku sendiri karena aku tak pernah bertemu dan mengetahui siapa orangtuaku.

Entah ribuan atau berjuta-juta kali kata pujian diucapkannya kepadaku dan aku tidak pernah bosan mendengarnya. Karena dialah yang membuatku bertahan hidup dalam kungkungan ini, hidup dalam pandangan mata ribuan lelaki yang selalu menelanjangiku.

“Boby” Begitulah orang-orang memanggilnya. Aku tak pernah tau namanya karena mulutku selalu tak bisa berucap ketika di depannya bahkan untuk menanyakan namanya. Dia adalah pegawai biasa, itu yang kulihat dari bagaimana orang memandang dan memperlakukannya. Seringkali orang lain yang berpakaian lebih rapi dan berdasi membentaknya dihadapanku dan dia hanya diam membisu atau mengiyakan saja walaupun ku tahu bahwa itu menyakitkan hatinya. Dia selalu melakukan perintah atasannya tanpa pernah mengeluh seperti dia memperlakukanku selama ini. Yang kuhapal pada dirinya adalah ketika dia melakukan pekerjaannya, dia selalu bersiul mendendangkan sebuah lagu. Ya, lagu itu adalah sebuah lagu yang pada masanya cukup terkenal,

Wanita dijajah pria sejak dulu

Dijadikan perhiasan sangkar madu

Tapi ada kala pria tak berdaya

Tekuk lutut di sudut kerling wanita

Tak bosannya dia mendendangkan lagu itu sambil bersiul dan tak bosannya aku mendengarnya. Tebakanku, lagu itu adalah sebuah hiburan dari rasa kesal terhadap atasannya atau lagu itu menyatakan sesuatu yang penting bagi dirinya. Bagiku, lagu itu adalah sebuah dendangan cinta darinya kepadaku yang nadanya dapat membuai dan memberikan rasa nyaman pada diriku. Semakin sering dia mendendangkan lagu itu, semakin jatuh cinta aku padanya.

*****

M

alam itu, seperti biasa saat keramaian mulai sirna dan orang akan terlelap kembali ke peraduannya, Boby akan setia datang menemaniku dengan dendang lagu cintanya. Tidak ada perasaan senyaman dan seindah ini setelah seharian dipandangi dan dijamah oleh tangan dan mata puluhan orang. Boby lah yang melarutkan rasa lelah ini, pandangannya memberikan keteduhan yang mendalam dan sentuhannya menghapus rasa jijik terhadap diriku dari pandangan dan sentuhan puluhan orang.

“Selamat malam Sora yang cantik, pandanglah langit malam ini. Bulan dan bintang akan menemani kita semalaman. Semoga engkau tak bosan dengan diriku, hanya engkaulah yang membuatku bertahan di tempat ini”. Ucap Boby kepadaku.

Ternyata kami mempunyai perasaan yang sama. Seperti biasanya, aku hanya terdiam dan tersipu mendengar sanjungannya.

Boby mulai melepas pakaianku satu per satu, tangan lembutnya membasuh seluruh tubuhku. Ingin rasanya merebahkan tubuh ini di pelukannya. Siulannya membuaiku untuk menikmati malam yang indah ini. Sampai tak ada sehelai benangpun menutupi tubuhku, hanya ada aku dan Boby yang disirami cahaya bulan dan bintang dari balik kaca.

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara dering telepon dari saku Boby.

“Sebentar Sora sayang, nanti kita lanjutkan lagi. Aku harus mengangkat telepon ini, mungkin ini sesuatu yang penting untukku”. Kata Boby.

Ada perasaan kecewa ketika Boby lebih mementingkan dering telepon daripada diriku atau perasaan cemburu?

Mengapa aku cemburu pada Boby, toh aku bukan siapa-siapanya. Mungkin aku hanya wanita simpanannya atau Boby hanyalah seperti laki-laki lain yang senang menjamahku. Ah… Boby tidak seperti itu, Boby yang kukenal adalah seorang pria yang lembut dan bertanggung jawab dan perasaanku mengatakan bahwa dia mencintaiku seperti diriku mencintainya. Pikiranku berkecamuk terus bertanya-tanya siapakah yang menelepon dan mengganggu malam indah kami.

“Halo… Iya betul saya sendiri, ada yang bisa dibantu. Apa !!! Dimana dia sekarang? Bagaimana kondisinya?” Boby terdiam lama dalam teleponnya.

“Baik, saya akan segera kesana” Kata Boby menutup diamnya.

Segera setelah memutus telepon, Boby mengambil jaket dan tasnya. Sepertinya dia akan meninggalkanku malam ini. Aku hanya terdiam memandanginya. Dengan tergopoh-gopoh dia mendatangiku dan berkata “Sora cantik, ayahku kecelakaan dan aku harus menengoknya di rumah sakit sekarang juga. Maafkan aku meninggalkanmu malam ini, hanya ayahkulah keluargaku satu-satunya di dunia ini. Selamat malam Sora, esok aku menemuimu lagi”

Aku terdiam. Ada perasaan nyaman setelah tau kepergiannya bukan karena perempuan lain tapi ada juga perasaan sedih memahami perasaan hati Boby saat ini. Pasti benar-benar panik, tapi kenapa aku tak diajaknya sekalian? Aku juga ingin berkenalan dengan ayahnya, aku juga ingin menjenguknya, aku juga ingin mengetahui tentang kehidupan Boby lebih jauh. Setelah sekian lama berdua, kenapa Boby tidak ingin hubungan ini semakin serius. Aku juga mendabakan sebuah keluarga bersamanya. Mungkin belum waktunya atau aku terlalu pasif terhadapnya. Aku selalu tidak bisa berkata-kata ketika ada di dekatnya. Aku terlalu mencintainya.

*****

A

ku terbangun ketika ada suara keras di sampingku. Ruangan ini belum waktunya untuk ramai orang berdatangan tapi sepagi ini sudah terjadi keributan. Aku melihat dan mendengar orang berdasi itu memarahi Boby.

“Saya terpaksa pulang cepat tadi malam pak, karena keadaan mendesak. Ayah saya kecelakaan dan berada di rumah sakit” Kata Boby.

“Saya tidak menerima alasan yang mengada-ada seperti itu, yang bisa saya simpulkan dari kejadian tadi malam adalah tindakan indisipliner dari karyawan saya. Dan itu jelas harus ada sangsinya. Kamu tau Bob, sangsinya apa untuk perbuatan bodohmu itu?” Kata orang berdasi itu dengan berkacak pinggang.

“Saya tidak tau Pak, saya minta maaf Pak” Kata Boby dengan wajah menunduk sambil berkaca-kaca.

“Sekarang juga kau kemasi barang-barangmu di loker dan temui bagian personalia untuk mengambil sisa gajimu bulan ini” Kata orang berdasi itu dengan suara melengking.

“Apa artinya ini Pak, apakah saya di skors?” Kata Boby sambil menatap orang berdasi itu.

“Apa artinya skors untuk orang yang tidak disiplin sepertimu, itu akan memberikanmu kesempatan lain lagi untuk melakukan tindakan indisipliner di lain waktu. Aku tidak bisa mentolerir perbuatanmu tadi malam, ruangan kau tinggal berantakan dan kau meninggalkan benda ini dalam keaadaan telanjang. Aku tidak mau melihatmu lagi di ruangan ini. Kamu kupecat Bob!” Kata orang berdasi itu dengan tegas.

“Maafkan saya Pak, berikan saya kesempatan satu kali lagi Pak. Saya sangat mencintai pekerjaan saya. Saya akan memperbaiki kesalahan dan tidak akan mengulanginya lagi” Kata Boby sambil sesenggukkan meneteskan air mata.

Sambil berlalu, orang berdasi itu mengucapkan “Sudah cukup Bob, ketika saya kembali ke ruangan ini, saya tidak ingin melihatmu lagi. Selamat tinggal Bob”

Boby terdiam lama terpaku dalam gemetarannya sambil sesenggukan menangis. Sambil berdiri, diletakkan lengannya di matanya untuk mengusap airmata dan menghindari tatapan pegawai lain di sekitarnya. Dia berbalik memandangku dengan mata merahnya, dipegangnya tanganku.

“Sora cantik, maafkan aku. Aku harus meninggalkanmu. Kamu harus bisa menerima orang lain yang akan menggantikanku” Ujarnya sambil menahan isak tangis.

Ingin sekali aku memeluknya, tapi aku tak mampu. Ingin sekali aku mengucapkan kata-kata perpisahan padanya tapi bibir ini tak mampu berkata-kata. Aku terlalu sedih. Bahkan meneteskan air matapun aku tak mampu.

Tangannya melepaskan genggamanku, Boby berbalik dan berjalan menunduk menyusuri lorong. Tak ada pegawai lain yang berani menegurnya. Orang berdasi itu tersenyum kecil memandang di balik jendela ruangannya.

*****

S

udah 3 hari semenjak kepergian Boby. Aku merasa kesepian. Tidak ada lagi siulan pada malam hari. Tidak ada lagi sanjungan dan belaian lembut tangannya. Aku merasa menjadi hina sekali saat puluhan orang yang setiap harinya menjamah dan memandangiku, aku tak punya tujuan hidup lagi, aku tak kuat menjalani hidup ini tanpa Boby.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh hadirnya seorang laki-laki di hadapanku. Sambil merokok dipandanginya tubuhku. Dia tertawa terbahak-bahak sambil berucap, “Inikah Sora yang dipuja-puja oleh Boby?” Ditiupkan asap rokok di wajahku. Ingin rasanya kutampar mukanya.

Tiba-tiba tangannya meremasku dan menidurkanku, dia melepas pakaianku dengan kasar. Aku mencoba berontak tapi dia terus membuka pakaianku sampai tak ada sehelai benangpun di tubuhku.

“Maafkan aku Boby. Tubuhku boleh dijamah oleh siapapun tetapi cintaku hanya untukmu selamanya”

Setelah selesai perbuatannya kepadaku, diberdirikannya aku dan dia meninggalkanku begitu saja dengan tertawa keras. Sekali lagi ditiupkannya asap rokok di wajahku. Aku merasa sangat hina, aku harus berbuat sesuatu. Aku tidak tahan diperlakukan seperti ini. Boby… dimana kau berada.

Dalam kesedihanku, tiba-tiba aku terjatuh dan kepalaku terantuk kaca yang menutupi ruangan ini. Kaca itu pecah terburai dan aku terjatuh di jalanan. Di luar hujan sangat deras, tubuhku basah kuyup. Sekelompok pemuda jalanan menghampiriku dan membawaku pergi. Aku terlalu lelah dalam kesedihanku, aku mengikuti kemana mereka pergi. Dibawanya aku ke sebuah lorong gelap yang sangat lembab. Di dalam ruangan gelap yang terdengar cicitan tikus menggema mereka beramai-ramai menelanjangiku. Boby… Maafkan aku, aku mencintaimu.

*****

S

epuluh tahun kemudian di sebuah jalan kawasan pertokoan yang ramai, sebuah keluarga berhenti untuk memandangi etalase sebuah toko pakaian.

“Nana sayang, dulu ayah pernah bekerja di toko pakaian ini” Kata seorang laki-laki kepada anak perempuannya yang berumur sekitar 7 tahunan.

“Di toko inilah ayah bertemu dengan ibumu dan maka itulah dirimu hadir di dunia ini sebagai bukti cinta ayah dan ibu” Kata laki-laki itu lagi kepada anaknya.

“Emang dulu ibu juga bekerja di toko ini ya, kok ibu bisa ketemu sama ayah?” Tanya Nana kepada ibunya.

“Ayahmulah yang bekerja di sini, ibu adalah pengunjung setia toko ini. Waktu itu ayahmu bertugas sebagai petugas kebersihan dan yang membuat ibu jatuh cinta pada ayahmu adalah ibu melihat ketulusan hati ayahmu ketika bekerja. Ibu melihat ketika ayahmu membersihkan dan mendandani sebuah boneka manekin di etalase toko seperti yang kamu pandangi ini. Kepada sebuah boneka saja ayahmu merawatnya dengan sangat perhatian apalagi dengan perempuan sungguhan. Lalu ibu berusaha untuk mencari tahu dan mendekati ayahmu. Hingga akhirnya kami menikah dan lahirlah dirimu nak…” Kata perempuan itu kepada anaknya.

Perempuan itu melihat wajah suaminya berubah menjadi bersedih. “Sudahlah Bob, lupakan saja rasa sakit hatimu terhadap pimpinan toko ini. Toh itu sudah 10 tahun lewat. Ayo kita teruskan belanja lagi Bob”

Boby menggendong anaknya sambil menggandeng istrinya untuk meneruskan jalannya.

Tiba-tiba Boby berhenti di tengah jalan. “Ada apalagi Bob?” Kata istrinya.

“Sekarang aku ingat, nama boneka manekin itu adalah Sora. Nana, nanti kau namai boneka barumu itu dengan nama Sora ya. Karena nama itu cukup akrab di telinga papa dan papa rasa Sora adalah boneka yang mempunyai hati” Kata Boby kepada anaknya.

Sambil berdendang, Boby meneruskan perjalanan bersama istri dan anaknya tercinta.

Wanita dijajah pria sejak dulu

Dijadikan perhiasan sangkar madu

Tapi ada kala pria tak berdaya

Tekuk lutut di sudut kerling wanita

Sangatta, 2 November 2007

Read Full Post »

Telinga

K

upandangi lagi cermin di kamarku. Apa yang salah dengan diriku? Aku tak seperti orang lain, anggota tubuhku tak berkembang. Harus kusyukuri atau kuratapi perbedaan ini. Kupandangi terus kepalaku di depan cermin, apa yang salah dengan diriku. Rambutku hitam ikal panjang sebahu, mataku ada dua, hidungku ada satu dengan dua buah lubang tempat aku bernafas, mulutku ada satu tapi, aku punya dua buah telinga di sisi kiri dan kanan kepalaku. Ya, telinga. Telinga yang tidak dipunyai kebanyakan orang saat ini.

Ini adalah awal tahun 2100, sebuah milenium baru bagi dunia saat ini dan bagi negaraku. Di tahun ini hanya sedikit orang yang bertelinga apalagi di negaraku. Karena aku bertelinga maka aku harus tinggal di sebuah daerah terisolir yang kumuh. Bagi orang-orang tak bertelinga daerah kami sering disebut kandang. Ungkapan yang tepat kiranya karena aku tak merasa tinggal di sebuah rumah tapi lebih tepat tinggal di sebuah kandang. Kandangku berukuran 5×5 m dan itu ditempati oleh 3 orang. Ayahku, ibuku dan aku sendiri, dan kami semua bertelinga. Sebelumnya ada kakekku yang tinggal bersama dan beliau baru saja meninggal 2 bulan yang lalu. Aku masih ingat pesan beliau sebelum beliau meninggal.

“Bas, kakek sudah tua dan kakek menyesal tidak akan melihat kamu menjadi orang, ya… orang tak bertelinga. Hanya kamu harapan satu-satunya keluarga ini. Kamu pasti sudah tahu bahwa dalam sejarah keluarga kita tidak pernah ada anggota keluarga kita yang menjadi orang tak bertelinga. Jadilah orang bertelinga Bas, banggakan orang tuamu dan banggakan pusara kakekmu kelak” Setelah itu kakekku meninggal. Kakekku meninggal akibat penyakit telinga yang mewabah di kampungku. Ada cairan yang keluar dari telinganya dan itu membuat tubuh dari penderita menjadi lemas dan mati dengan perlahan.

Aku juga masih ingat kata-kata orangtuaku yang selalu diucapkannya ketika aku kecil. Pada waktu itu aku mencuri makanan dari temanku yang tak bertelinga.

“Baskoro! Janganlah kau berbuat nakal nak. Kami sudah bersusah payah menyekolahkanmu di tempat anak-anak tak bertelinga dengan harapan agar kau bisa menjadi seperti mereka. Kau tau nak, ketika kau lahir kami sangat sedih ketika mengetahui ternyata kau bertelinga”

Ingin menjerit rasanya ketika mendengar hal itu apalagi keluar dari mulut orangtuaku sendiri. Aku hanya sangat lapar waktu itu dan anak-anak tak bertelinga selalu membawa bekal yang berlebih. Sisanya pun selalu diberikan kepada anjing penjaga sekolah. Iri rasanya dengan anjing tersebut. Lebih beruntung dilahirkan menjadi seekor anjing daripada menjadi anak bertelinga.

Aku masih memandangi cermin di kamarku yang sempit. Di samping cermin kulihat foto-foto keluargaku. Ada foto orangtuaku, kakekku dan nenekku, kakek buyutku dan nenek buyutku dan semuanya bertelinga. Kembali kupandang cermin, ingin rasanya kupecah cermin tersebut. Aku sudah berumur 23 tahun dan aku masih bertelinga, sampai kapan aku akan terus bertelinga. Aku tak berdaya.

*****

A

ku bekerja di sebuah pabrik tekstil. Pabrik itu begitu besar yang menempati daerah dengan luas berhektar-hektar di pinggir sebuah jalan besar. Ruangannya ber AC dan berlantai keramik dan orang-orang yang bekerja di sana selalu berpakaian rapi dengan kemeja berdasi dilapisi jas, becelana kain dan bersepatu kulit mengkilap. Tapi itu hanya untuk orang-orang normal tak bertelinga. Sedangkan untuk orang-orang tak normal bertelinga seperti aku ini menempati ruang bawah tanah dari pabrik tersebut yang berhawa pengap dengan lantai teraso yang sudah pecah-pecah dengan pekerjaan yang berpeluh-peluh keringat. Aku tidak sendiri, banyak pula temanku yang bertelinga merasakan frustasi seperti yang kurasakan saat ini. Parman bahkan memotong kedua telinganya, tetapi tetap saja nampak dua lobang di sisi kiri dan kanan kepalanya.

Pak Karto adalah pemilik dari pabrik ini. Aku sering melihatnya berangkat ke kantor dan pulang dari kantor. 2 orang bodiguard selalu mendapinginya kemanapun dia berjalan. Tiap orang tak bertelinga selalu ketakutan terhadap orang yang bertelinga. Ketakutan tak beralasan kubilang, karena kami hanyalah kaum minoritas di negeri ini. Banyak yang sudah dibantai atau dibiarkan mati berlahan dengan penyakit telinga seperti yang diderita kakekku dan tetangga-tetanggaku yang lain dan terus terang aku juga ketakutan tertular penyakit tersebut. Penyakit ini tak bisa menular pada orang tak bertelinga. Banyak yang bilang bahwa penyakit ini sengaja dibuat oleh orang tak bertelinga untuk mengurangi orang bertelinga. Kembali ke Pak Karto, aku sudah mengawasinya sejak lama. Dia mempunyai seorang anak laki-laki tak bertelinga yang kira-kira berumur 5 tahun dan Pak Karto sangat sayang pada anak satu-satunya itu. Segala permintaaan anaknya selalu dipenuhinya.

Hari ini adalah jadwalku untuk pulang terakhir karena aku harus membersihkan ruangan tempatku bekerja. Banyak sekali bekas-bekas kain perca yang harus kubersihkan sore ini karena kami harus memenuhi pesanan ekspor yang harus selesai di akhir minggu ini. Terdengar deru mobil di luar pabrik, bergegas aku menuju pintu yang menghubungkan ruangan pengab ini dengan dunia luar. Kubuka sedikit pintu tersebut untuk mengintip ada apa di luar sana. Aku melihat rombongan para pembesar pabrik bergegas untuk pulang juga. Terlihat dalam rombongan itu Pak Karto yang selalu didampingi oleh 2 orang bodyguardnya. Aku tidak melihat anaknya, padahal ini adalah hari Rabu dan biasanya hari ini anaknya ikut pulang bersama dengan bapaknya karena siang hari Pak Karto selalu menjemput anaknya untuk dibawa ke kantor. Kelepaskan pandangan ke arah jalan raya, terlihat anak Pak Karto sedang bermain mobil-mobilan di pinggir jalan. Dan seketika itu mobilnya menggelinding di tengah jalan dan anak tersebut berusaha mengambilnya, dari arah depannya melintas sebuah truk dengan kecepatan tinggi. Tanpa buang-buang waktu lagi aku langsung berlari menuju ke arah anak Pak Karto untuk menyelamatkannya. Aku melompat sambil berusaha meraih anak tersebut. Dalam detik tersebut aku mendengar berbagai suara. Yang pertama adalah suara tangisan anak Pak Karto, yang kedua adalah suara teriakan orang-orang tak bertelinga di depan Pabrik, yang ketiga adalah suara klakson dari truk yang melintas. Yang kusadari kemudian adalah aku sudah berada di pinggir jalan sambil memeluk anak Pak Karto yang terus menangis sambil meronta.

Pak Karto langsung datang tergopoh-gopoh diiringi dua orang bodyguardnya menemuiku, diambilnya anaknya dari pelukanku. Kemudian dia memandangku sejenak kemudian dia menampar kedua orang bodyguardnya dan memarahinya sambil membentak-bentak. Tak ada yang terucap sedikitpun dari mulut Pak Karto padaku, bahkan ucapan terimakasih. Aku menyingkir berlahan dan kuputuskan untuk kembali meneruskan pekerjaanku agar besok tak kena marah mandor. Setengah jalan menuju tempat kerjaku, aku dikejutkan oleh suara.

“Tunggu disitu pemuda” Kutengok kebelakang, ternyata yang memanggilku adalah Pak Karto, aku tidak menyangka sekali Pak Karto berbicara kepadaku. Aku berbalik dan kutundukkan kepalaku. Aku melihat sudah ada sepasang sepatu di depanku.

“Maafkan saya atas kelancangan saya menyentuh anak bapak”

“Sudah, jangan kau teruskan lagi bicara. Aku tak mau terlihat orang banyak kalau aku berbicara dengan orang bertelinga. Temui aku besok di ruanganku pukul 10 pagi tepat”

“Baik Pak”

“Teruskan pekerjaanmu anak muda”

Sesampainya di kandang aku masih berdebar-debar dan penasaran, apa yang akan terjadi besok. Apakah aku akan kenah marah gara-gara kejadian tadi. Tapi mengapa aku harus dimarahi, bukannya aku sudah menyelamatkan nyawa anak kesayangannya. Malam ini aku tak bisa tidur, selain karena pikiranku yang kalut juga karena suara batuk dari ibuku. Kemarin sudah ada cairan keluar dari telinga ibuku, sepertinya ibuku tertular oleh almarhum kakekku dan aku hanya tinggal tunggu giliran saja.

Pukul setengah 7 tepat aku sudah berada di pabrik dan pagi ini terasa panjang untuk menunggu sampai pukul 10. Pekerjaanku tak ada yang beres dan aku kena marah mandor beberapa kali karena menjatuhkan gulungan benang di lantai yang masih kotor karena kemarin aku menyapunya tidak bersih. Pukul 10 kurang 10 menit aku minta ijin ke mandor untuk menemui Pak Karto. Awalnya mandor tidak percaya sampai aku dijemput sendiri oleh seorang bodyguard Pak Karto. Di sepanjang jalan menuju ruangan Pak Karto, orang-orang kantor terlihat berbisik-bisik di kepala mereka yang tak bertelinga sambil menatapku.

Ruangan itu sangat sejuk dan wangi, Pak Karto sendiri sudah duduk menanti di lobi ruangannya.

“Silakan duduk” Katanya.

Belum pernah aku duduk di kursi yang seempuk ini. Aku mencoba duduk dengan tenang.

“Siapa namamu pemuda” Tanyak Pak Karto.

“Baskoro Pak” Jawabku

“Kau tau Baskoro, Jimmy adalah anakku satu-satunya. Aku tak tau bagaimana perasaanku apabila aku kehilangannya. Untuk itu aku sangat berterima kasih padamu atas kejadian kemarin”

“Sudah kewajiban saya sebagai pegawai pabrik ini untuk ikut menjaga anak Bapak” Jawabku.

“Baskoro, di depanmu sudah ada amplop yang berisi uang. Ini adalah bentuk terimakasih saya terhadapmu. Ambillah Baskoro. Kemudian saya sudah memutuskan untuk mengangkatmu menjadi pengawas lapangan dalam pabrik ini”

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku terus tertunduk sambil menahan air mata.

“Kau tau Baskoro, mungkin hanya aku satu-satunya orang normal tak bertelinga yang memberikan posisi kepada orang tak normal bertelinga di negeri ini. Ini semata karena rasa sayangku terhadap anakku. Bukan karena rasa iba terhadapmu. Kau bisa mulai kerja besok”

“Terimakasih Pak” Kataku sambil terisak.

*****

S

udah setengah tahun sejak aku mulai menduduki jabatan baruku sebagai pengawas lapangan. Hanya dari setengah tahun ini aku sudah bisa membeli sebuah rumah kecil tidak jauh dari pabrik dan bukan lagi sebuah kandang, ini karena kebaikan dari Pak Karto. Kuucapkan selamat tinggal pada kandang dan lingkungan kumuhku. Aku tak mau tertular pada penyakit telinga yang makin mewabah di kampungku. Orangtuaku, entah bagaimana nasib mereka mungkin mereka sudah mati terkena penyakit haram itu. Aku tak tahan dengan cacian dan makian mereka ketika aku melarat, kemudian mereka mendayu sendu sayang ketika aku kaya.

Kali ini aku benar-benar harus membuktikan pada Pak Karto bahwa aku pengawas lapangan yang baik ketika pabrik didera demonstrasi besar-besaran oleh pegawai bertelinga yang menuntut kenaikan upah. Bahkan akupun kena demo juga oleh mereka. Kulihat Parman mengacung-acungkan kertas bertuliskan Ganyang Penghianat Baskoro, Kardi ikut-ikutan meneriakkan Gantung Baskoro Bersama Pembesar Pabrik dan beberapa bekas temanku bertelinga yang lain. Pak Karto sudah menyerahkan mandat kepadaku untuk menyelesaikan masalah ini dan iming-iming kenaikan gaji dan jabatan ada di depanku. Aku sudah menyiasati hal ini dengan bekerja sama dengan preman setempat. Di tengah gemuruh demonstrasi besar-besaran di depan pabrik aku menyelinap keluar menuju kampung kumuh sial tempatku dulu terhina bersama para preman bayaran. Kuperintahkan preman-preman itu untuk membakar kandang-kandang semi permanen mereka. Hanya sekejap kampung itu sudah luluh lantak di makan api dan hanya tinggal mengatakan bahwa terjadi konslet pada salah satu rumah sudah cukup bagi polisi yang kubayar untuk bisa menutup kasus.

Para demonstran terpecah karena mereka berusaha menyelamatkan rumahnya yang terbakar, massa tidak lagi berkumpul di depan pabrik tetapi sekarang mereka panik berusaha mengais-ais sisa-sisa barang yang tidak termakan api. Mereka berbalik arah menganggapku dewa ketika aku menyantuni mereka yang menjadi korban kebakaran. Hanya sedikit yang dikeluarkan daripada harus menaikkan gaji dan tunjangan mereka. Pak Karto ikut hadir pura-pura bersedih di atas gelimpangan mayat yang terbakar oleh api, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak, perempuan dan orang tua yang ditinggal suaminya untuk berdemo. Yang masih hidup menyalahkan para lelaki dewasa karena berdemo pada orang yang baik hati seperti Pak Karto dan tentu Baskoro sang pengawas lapangan baik hati yang sebentar lagi naik pangkat sebagai staf pribadi Pak Karto. Di tengah tumpukan mayat aku melihat dua sosok hitam legam akibat terbakar, tapi aku masih mengenalinya. Ya, mereka adalah orangtuaku. Aku terpaku terdiam dan kali ini air mataku bukan air mata bohongan tetapi air mata sungguhan. Sungguh terlupakan olehku bahwa aku masih mempunyai orang tua di kampung ini.

Pabrik sekarang sudah berjalan lagi dengan lancar dan para pekerja tidak ada lagi yang protes mengenai kenaikan gaji karena mereka sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Sore itu sepulang kerja aku menaiki mobilku dan kembali ke rumah baru pemberian Pak Karto atas jasaku menyelamatkan pabrik. Kupandangi cermin di kamarku dan aku kini menemukan manusia sempurna. Dua buah telingaku benar-benar menghilang dari kepalaku tanpa harus kupotong. Evolusi Darwin benar-benar terlaksana. Apabila ada organ tubuh yang tidak pernah dipakai maka organ tersebut akan mengecil dan semakin lama semakin menghilang.

Yogyakarta, 15 Juli 2005

Read Full Post »

Juang

M

alam itu aku sangat gelisah. Dada ini sangat berdesir, nafasku serasa mau putus. Berbagai posisi duduk sudah kucoba, berbagai nyanyian sudah kudendangakan, koran hari ini sudah selesai kubaca semuanya bahkan sekarang rasanya ingin kusobek-sobek. Entah sudah berapa batang rokok yang kuhisap malam itu, tapi tak ada sebatangpun yang kurasa dapat mengurangi gelisahku. Tapi gelisah ini kunikmati, gelisah yang baru pertama kali terjadi selama hidupku. Sebentar lagi aku akan menjadi lelaki sejati kala istriku berhasil melahirkan seorang bayi buah dari rasa cinta kedua orangtuanya.

Teriakan istriku seakan-akan semakin menyiksaku. Apa yang kuperbuat di sini sementara istriku berjuang mati-matian di sana. Aku hanya bisa menanamkan benih kepadanya. Tapi itukan dilakukan suka sama suka, pembelaanku pada hati kecilku. Aku dikejutkan oleh suara teriakan istriku yang semakin memuncak dan disusul oleh suara teriakan mungil yang memecah keheningan malam. Apakah ini puncaknya? Apakah aku akan menjadi seorang ayah? Bagaimana keadaan bayiku? Bagaimana keadaan istri tercintaku? Degup jantungku makin keras, seandainya tanganku bisa bicara maka dia akan protes karena selalu kuremas-remas.

Aku menunggu di depan ruang persalinan. Lama sekali dokter itu keluar, ingin rasanya kudobrak ruang itu. Tiba-tiba pintu terbuka. Dan seorang dokter keluar masih lengkap dengan pakaian operasinya berbicara dengan tenang sambil mengusap keringat di keningnya.

“Selamat pak, anak bapak laki-laki dan istri bapak merupakan wanita yang hebat. Keduanya dalam kondisi sehat”

“Terimakasih Dok” Kataku. Ingin rasanya berteriak sekerasnya di koridor rumah sakit ini, tapi tak kulakukan pasti banyak yang akan terganggu. Kupeluk erat dokter itu. Kupandangi mukanya dan mukanya memerah entah karena ikut bahagia atau tak bisa bernafas karena pelukanku terlalu erat. Langsung cepat-cepat kuterobos masuk ke dalam ruang persalinan itu.

Kutemui pandangan yang sangat menyentuh kalbuku. Di kasur itu kulihat wajah istriku yang sangat kelelahan tapi matanya berbinar bahagia sambil mencium seorang bayi mungil warna merah. Ya, itu adalah istriku dan yang digendongnya adalah anakku. Aku tak kuasa menahan air mata haruku. Kudekati mereka dengan pelan karena tak ingin mengusik kebahagiaan ini. Kucium kening istriku lalu kucium kening anakku pula.

Warnanya merah dan matanya masih terpejam mulutnya mengecap-ecap seakan-akan ingin berucap terimakasih bapak-ibu telah merawatku selama dalam perut ibuku.

“Anak kita mas” Kata istriku pelan sambil menitikkan air mata.

“Ya, anak kita. Lihatlah dik, hidungnya mirip dengan hidungmu yang juga mungil. Bibirnya mirip dengan bibirku yang akan selalu mengucapkan syukur pada Tuhan. Dan rambutnya dik, mirip rambutmu yang hitam dan tebal”.

Kami saling berpandangan dan tertawa bahagia.

*****

Setelah kedua cintaku tertidur kelelahan, malam itu juga aku pulang kerumah untuk mengabari tetangga dan sanak saudaraku di rumah. Pasti mereka tak sabar juga menunggu berita bahagia ini. Kupacu sepeda motor tuaku sambil menikmati indahnya malam. Bulan dan bintang kilaunya bertambah terang ikut menyambut kehadiran anakku mengiringi perjalananku. Pohon-pohon, tiang listrik, pagar-pagar rumah yang kulewati dan deru motorku ikut berdendang layaknya sebuah orkestra mengiringi nyanyianku.

Sengaja aku datang ke kotamu

Namun kita, tidak bertemu

Ingin diriku mengulang kembali

Berjalan-jalan bagai tahun lalu. …

*****

K

ami hidup di sebuah rumah sederhana. Tapi rumah itu sangat indah, keindahannya muncul karena kami hidup bahagia dan penuh cinta. Hanya ada dua kamar tidur dan sebuah kamar mandi itu sudah cukup bagi kami untuk merenda kehidupan ini. Di tembok ruang tamu terpampang fotoku sedang mengenakan seragam kebanggaanku sebagai seorang tentara di republik ini. Di sampingnya ada foto keluarga diriku bersama istriku Mirna dan anakku Juang. Juang, begitulah kuberinama anakku. Cukup Juang tak kurang tak lebih karena kuharap dia akan menyusul ayahnya untuk selalu berjuang demi republik ini.

Desa permai tempatku hidup hanyalah desa kecil dalam sebuah republik yang besar. Dan republik ini saat ini sedang berkecamuk dengan negara tetangga. Kami saling mengklaim daerah kekuasaan kami. Dan republik ini baru akan sadar setelah merasa kehilangan suatu pulau karena sebelumnya para pejabatnya terlena oleh nikmatnya korupsi yang mereka lakukan dan tidak pernah memperhatikan pulau-pulau naungannya. Itu yang kutahu dari tetangga-tetanggaku sepulang dari merantau untuk menempuh ilmu di kota lain. Mereka adalah mahasiswa yang selalu kritis menyikapi gejolak republik ini dan aku hanyalah seorang tentara yang selalu patuh pada komando atasanku. Sudah menjadi kode etis bagi satuanku untuk tidak menyinggung perbuatan para atasanku walaupun aku tahu bahwa apa yang mereka kerjakan menyimpang dari aturan. Ini sudah menjadi budaya dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku cukup bahagia bersama Mirna dan bahkan sekarang ada Juang yang membuatku semakin tambah cinta kepada keluargaku.

*****

Dalam rapat siang tadi di kantor, semakin jelas bahwa hubungan antar republik kami dan negara tetangga semakin runyam. Bukan tidak mungkin akan terjadi perang. Pikiranku hanya kepada Mirna dan Juang di rumah, tak sabar untuk kembali ke rumah menikmati makan siang bersama Mirna dan Juang yang saat ini sudah bisa merangkak dan memanggil ibunya “Uu” dan bapaknya “Aa”.

Sepulang kantor sengaja kulewati alun-alun kota untuk membelikan Juang sebuah mainan. Beberapa mainan bagus tak terjangkau oleh dompetku yang makin cekak, maklumlah ini tanggal tua. Tapi ada satu yang membuatku tertarik adalah sebuah boneka kayu seorang tentara yang sedang hormat lengkap dengan pakaian khas tentaranya. Setelah harganya pas maka segera kubayar. Maafkan bapak Juang karena tak bisa membelikanmu mobil-mobilan dan hanya sebuah boneka kayu ini. Kuharap boneka ini dapat mewakili cinta bapak kepadamu.

“Tidak usah dibungkus pak. Cukup kumasukkan ke dalam saku celanaku saja”

Tak sabar rasanya pulang ke rumah dan melihat wajah istriku dan anakku berseri-seri menanti suami dan bapaknya. Apalagi wajah Juang yang senang karena bapaknya membawa sebuah mainan untuknya.

*****

Setibanya di rumah kudapati ada sebuah sepeda motor yang cukup kukenal parkir di depan pagarku. Ya, mereka adalah teman baikku di satuan. Pak Herman dan Pak Darno.

“Selamat siang Pak” Tak lupa salam hormat tentaraku pada kedua temanku ini dan mereka juga membalas dengan salam hormat.

“Silahkan duduk Pak. Ada apa gerangan bapak sudi berkunjung di rumah sederhana ini?” Kataku. Sesaat kulemparkan pandangan kepada istriku yang menunjukkan raut muka muram sambil menggendong Juang yang tertidur.

“Begini Pak Karim, kita sudah mengetahui perkembangan hubungan republik kita dengan negara tetangga yang semakin runyam seperti pada rapat siang tadi. Dan hal yang dikhawatirkan benar-benar terjadi bahwa republik kita menyatakan perang dengan negara tetangga. Selepas Pak Karim meninggalkan kantor siang tadi, ada komando dari pusat bagi seluruh satuan untuk bersiap maju ke medan perang termasuk Pak Karim yang merupakan anggota terbaik dalam satuan kita”

Aku terdiam sejenak. Sebenarnya aku sudah meramalkan hal ini jauh-jauh hari dan kini aku sudah mengerti mengapa raut wajah istriku muram. Mungkin sebelum aku tiba mereka sudah memulai pembicaraan.

“Siap Pak. Kira-kira kapan saya harus berangkat?”

“Saat ini juga, diharapkan pasukan sudah siap pukul tiga sore untuk mengikuti briefing dan menyiapkan senjata selanjutnya diberangkatkan bersama-sama menggunakan pesawat hercules langsung ke medan pertempuran. Jadi dimohon Bapak untuk menyiapkan sesingkat mungkin peralatan yang dibawa dari rumah kemudian kita berangkat bersama-sama”

Dadaku terhentak. Aku gelisah, tapi gelisah ini berbeda dengan yang kurasakan saat kelahiran Juang. Aku melirik pada Mirna dan Juang. Tak lain gelisahku adalah mereka berdua yang akan kutinggal di medan perang entah berapa lamanya. Kutarik nafas panjang.

“Saya akan bersiap sesingkat mungkin”

Aku menuju ke kamarku untuk menyiapkan peralatanku dan Mirna mengikutiku dari belakang untuk membantuku menyiapkan peralatan setelah menidurkan Juang di kasur. Kami tak saling bicara, hanya suara sesenggukan Mirna yang kudengar. Sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang tentara dalam republik ini untuk dipanggil sewaktu-waktu maju di medan perang dan seharusnya Mirna tahu itu ketika dia memutuskan untuk menjadi istriku.

Aku sudah siap berangkat dan aku masih menggunakan pakaian yang sama ketika aku tiba. Kupandangi istriku, tampak matanya berkaca-kaca melepas kepergianku. Kupeluk dan kucium keningnya kemudian kubisikkan di telinganya.

“Aku tak akan lama. Jaga Juang, ceritakan padanya bahwa ayahnya adalah seorang pria pemberani”

Lalu kucium pipi anakku yang terlelap tidur di gendongan ibunya. Wajahnya masih lugu, giginya baru mulai tumbuh. Tampak benda kecil putih mungil muncul dari gusinya ketika dia menguap. Dan mata itu, mata itu seperti bapaknya, hidungnya makin mirip ibunya, rambutnya pun makin hitam dan tebal seperti ibunya. Aku tak ingin membangunkannya, kubisikkan di telinganya.

“Juang, Bapakkmu mohon pamit dulu untuk berjuang seperti nama yang kuberikan kepadamu”

Diciumnya telapak tanganku oleh istriku dan aku segera berangkat. Kutengok lagi wajah istriku dan dia masih menangis begitu pula Juang yang terbangun kemudian ikut menangis. Ditepuk-tepuk pantat montok Juang untuk meredakan tangisnya oleh istriku. Dan deru motorku semakin menjauh. …

*****

E

ntah sudah berapa lama aku berada di medang perang dan kini aku sudah berada di depan rumah. Rumah itu masih seperti saat kutinggalkan. Pagarnya dari bambu yang kubuat sendiri, tidak rapi tapi aku mengerjakan dengan susah payah. Bunga-bunga di halaman mulai bermekaran, kupetik satu dan wanginya seperti wangi istriku. Sepertinya istriku terus merawatnya ketika kutinggal perang. Terdengar suara pekik-pekik gurauan seorang wanita dengan seorang anak kecil. Rasa kangenku sudah begitu mendalam. Kurapikan bajuku dan baret di kepalaku lalu mulai kuketuk pintu rumah tercinta itu.

“Siapa ya?” Terdengar suara perempuan dari dalam. Suara itu tak berubah, masih tetap terngiang dalam pikiranku. Tak salah lagi itu adalah istri tercintaku.

“Juang main sendiri dulu ya, ibu akan membuka pintu sebentar”

Aku menunggu dengan sikap tegak layaknya seorang tentara yang baru pulang dari medan perang, memang aku pulang dari medan perang. Tertawa sendiri aku. Cepat-cepat kutahan tertawaku ketika pintu mulai dibuka.

“Mas Karim!” Mirna berteriak sambil memelukku. Tak ada yang lebih indah selain pelukan istriku sendiri yang dengan sabar menanti suaminya berperang. Aku balas memeluknya dan kuciumi dia di seluruh wajahnya sampai tak tersisa sedikitpun.

Mirna masih belum berubah sedikitpun sejak kutinggalkan. Istriku masih tetap perempuan yang paling cantik yang pernah kutemui. Rambut hitam tebalnya masih tetap dibiarkan terurai, mata indah itu tak berkurang sedikitpun, dan hidung mungilnya mengingatkanku pada Juang.

“Dimana Juang?” Kataku bersemangat.

“Ada di kamar mas. Dia terus mencari bapaknya dan sekarang dia sudah bisa mengucapkan Bapak dengan jelas”

Kurangkul tubuh istriku dan kami bersama-sama menuju kamar untuk melihat buah hati kami Juang. Ya… dia adalah anakku tercinta. Sekarang dia sudah bisa berjalan sendiri dan sudah tampak raut wajah yang merupakan campuran bapak dan ibunya.

“Anakku, bapakmu sudah pulang nak”

Juang nampak sedikit takut dan malu-malu ketika bertemu denganku, dia meringku di kaki Mirna. Sedikit demi sedikit dia menampakkan wajahnya dan senyum tipis tersungging dari bibirnya.

“Bapak” Katanya. Aku tak kuasa menahan haru. Air mata menetes dari mataku lalu kugendong dan kuciumi dia. Dia kegelian sambil tertawa-tawa kecil.

“Juang, bapak lupa memberikanmu hadiah ketika bapak akan berangkat ke medan perang. Hadiah ini sudah bapak simpan sejak lama dan bapak jaga terus jangan sampai rusak bahkan di medan perang sekalipun”

Kukeluarkan sebuah boneka kayu seorang tentara yang sedang hormat dari saku celanaku dan nampak wajah Juang begitu berseri-seri melihatnya.

*****

“Matanya mulai kosong dan darahnya mengalir lagi dengan deras di perutnya!”

“Cepat, suntikkan morfin!”

“Tangannya menghalangiku untuk menyuntiknya!”

“Keluarkan tangannya dari sakunya!”

“Apa itu, mengapa dia menggenggam sebuah boneka kayu?”

“Kopral Karim, Kopral Karim, Kopral Karim, …”

Suara peluru sahut menyahut berdesing di sekitarku. Suara teriakan orang-orang dan laju tank-tank memekakkan telinga. Mengapa lama-lama begitu tenang. Lamat-lamat kudengar lagu:

Sepanjang jalan kenangan

Kita selalu bergandeng tangan

Sepanjang jalan kenangan

Kau peluk diriku mesra. …

Yogyakarta, 8 Juni 2005

Catatan

Teks lagu diambil dari lagu berjudul Sepanjang Jalan Kenangan yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi

Read Full Post »

Mata Sendu

Selasa

dal, ud berak brp x km d atas salju? Aq lulus dapet nilai A. Giliranmu kawan 🙂

Rabu (Hari ke 1)

take care 🙂

Kamis (Hari ke 2)

hoi kadal kemana aja km? banyak yg nyari tuh. sombong amat! sekret rame nih banyak cewe siap dibikin pingsan 🙂

Kamis (Hari ke 3)

dal, aq tau km lg pengen sendirian di sana, tp aq lagi butuh km nih…

Jum’at (Hari ke 4)

dal… kamu dimana?… 😦

Sabtu (Hari ke 5)

dal… selamat, akhirnya cita-citamu tercapai 🙂

*****

“Oi Kadal! Kamu udah packing belum? Temen-temen udah pada ngumpulin carrier di sekret[1] tuh”.

“Diem lu Kalong! Aku ngantuk banget nih, habis minum obat. Kampret juga tu dokter, ngasih obat bikin ngantuk”.

“Sakit apa kamu, kayaknya parah banget? Panggilin ambulan nggak? Atau WHO biar dateng ngobatin”.

“Matamu! Badanku panas nih, kemaren sore pulang dari sekret abis rapat kehujanan. Udah ah aku mau tidur. Nanti sore aku packing langsung ke sekret. Bilang ke anak-anak aku dateng agak telat, tiketnya ga akan terbuang percuma”.

“Ya udah, istirahat aja… Kalo sakit jangan dipaksa ikut. Aku ke sekret dulu ya… Dah Kadal”… BRUK!! Sambil melempar bantal ke muka Kadal

“Dasar Kalong Bangsat!!!”

*****

K

ami adalah komunitas mapala[2] yang biasanya tiap anggota mempunyai julukan tertentu yang menggambarkan sifat atau tingkah laku tiap anggotanya. Julukan ini muncul setelah masing-masing anggota mempunyai kedekatan dan pengalaman hidup bersama di alam.

Nama asliku adalah Bambang Digdoyo. Aku masih ingat ketika pertama kali aku mendapat julukan Kalong. Julukanku ini pertama kali dicetuskan oleh temanku Tridadi Susetyo karena dia melihat pola hidupku yang lain dari biasanya, yaitu aku selalu tidur di siang hari dan dimalam harilah aku mulai beraktifitas. Bahkan ketika kuliahpun aku selalu tertidur di kelas, maka untuk itulah aku mendapatkan julukan Kalong.

Sedangkan temanku sendiri Tridadi Susetyo julukannya adalah Kadal. Julukan ini tercetus tujuh tahun yang lalu ketika kami masih menjadi anggota mapala baru dan melakukan pendakian diklat lanjut pendakian gunung di Gunung Lawu. Ketika itu, temanku yang hiperaktif ini selalu berjalan di depan dan tiba-tiba dia menghilang yang membikin panik rombongan. Seketika itu tiba-tiba dia muncul dari semak-semak dan membuat kaget rombongan dengan merayap dan menjulurkan lidahnya keluar dari semak-semak. Hal itu dilakukannya berulang-ulang kali dan membuat jengkel satu rombongan pendakian. Akhirnya julukan Kadalpun disandangkan terhadap dirinya. Lucu juga ketika mengingat masa lalu.

Aku dan Kadal adalah angkatan Diklat IV yang masih tersisa, atau mungkin bisa kubilang kami tidak bisa lepas dari hati nurani kami yang haus akan petualangan dan ketegangan-ketegangan adrenalin saat kami melakukan kegiatan-kegiatan yang ekstrim. Entah berapa gunung, gua, tebing atau derasnya jeram sungai sudah kami lalui, tepatnya tak terhitung lagi dan bahkan kami sendiripun kadang lupa. Tepat kiranya aku dan dia masuk dalam organisasi mapala, karena kami juga sering disebut mapala tetapi dengan arti yang lain yaitu mahasiswa paling lama. Lamanya jam terbang untuk kegiatan alam sudah tak terhitung lagi seiiring dengan lamanya jam terbang kuliah kami. Tapi kami menikmati hal ini.

Kami bukanlah anak muda yang tidak bertanggung jawab, indek prestasi kumulatif kami tidaklah jelek-jelek amat dan kami juga membiayai kuliah dari kantong sendiri. Aku dan Kadal mempunyai usaha pembuatan dan penjualan peralatan kegiatan alam yang sudah kami tekuni empat tahun lamanya dan cukup sukses terkenal di komunitas mapala seluruh Jogja.

Muka Kadal lebih tepat digambarkan sebagai preman daripada seorang mahasiswa. Rambut gondrong acak-acakan, celana sobek, matanya menatap tajam dengan alis yang tebal, mulut yang mempunyai dua tipe aroma yaitu alkohol dan telur busuk, dengan asesoris di sekujur tubuhnya mulai dari kaki sampai dengan telinga dan sebatang rokok yang selalu menyelip di mulutnya. Hampir tidak pernah melihat dia dengan pakaian rapi. Bahkan ketika ada acara pengenalan ruang organisasi dalam rangkaian ospek jurusan seorang mahasiswi baru di kampus yang teriak histeris dan hampir pingsan ketika dia mencoba masuk ke ruang mapala dan ternyata melihat Kadal yang baru bangun dari peraduannya sambil menguap. Selama seminggu mahasiswi tersebut tidak masuk kuliah karena shok dan Kadal seperti biasa hanya cengar-cengir sambil teriak-teriak fals nyanyi lagunya iwan fals. Satu hal yang kontras dengan penampilan fisik yang lain adalah matanya, matanya adalah mata sendu yang menatap tajam yang seakan-akan menyiratkan bahwa dia selalu memikirkan sesuatu. Katanya matanya ini adalah mata ibunya.

Di luar fisiknya yang seperti itu dia adalah orang yang bertanggungjawab dan rasa humornya memecah keseraman wajahnya. Kata-kata umpatan dan selingan saru selalu terselip di setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Kadal adalah saru, saru adalah Kadal. Dua hal ini tidak bisa dilepaskan. Tapi seandainya kita sudah mengenal dekat dengannya, seakan-akan kita bertemu dengan kawan lama yang selalu kita nanti-nantikan kehadirannya.

Kadal hidup bersama dengan ayah dan kedua adiknya yang juga masih kuliah dan sma. Ibunya sudah meninggal 4 tahun yang lalu. Pernah kupergoki dia sedang merenung sendirian di Pasar Bubrah[3], ternyata dia sedang memandangi foto ibunya yang telah tiada. Dia sangat sayang sekali dengan ibunya, dan pasti dia sangat kehilangan dengan kepergian ibunya walaupun tidak pernah setitikpun air mata menetes ketika ibunya tiada. Pernah dia mengatakan apa yang membuat dia senang naik gunung adalah dia selalu menemukan mata sendu ibunya ketika matahari merekah dilihat dari puncak gunung.

Banyak sekali pengalaman melakukan kegiatan alam dengan Kadal, salah satunya adalah ketika kami masuk gua vertikal Plawan di Parangendog Parangtritis. Sebelum masuk gua dia sudah mengeluh sakit perut gara-gara sebelum berangkat dia makan terlalu banyak waktu ditraktir temennya di McDonald.

“Ah perutmu memang perut ndeso, nggak bisa diajak makan makanan yang mahal sedikit. Sekali ndeso yang tetep aja ndeso, nggak usah aneh-aneh deh Dal mendingan makan pecel aja kamu” kataku.

“Dasar Kalong busuk nggak pernah liat orang seneng dikit, masalahnya aku tu nggak tau gimana cara ngeluarin sambel dari alat yang kayak keran kurus itu. Pas kutekan, eh… sambelnya keluar banyak banget. Ya udah… sayang kan kalau nggak dimakan. Mulutmu itu yang ndeso Long!” katanya.

Alhasil di dalam gua Kadal mengeluarkan hamburger, ayam dan tidak lupa sambal yang tadi dimakannya dengan wajah yang sedikit meringis. Aroma hamburger, ayam dan sambal yang sudah berubah jauh dari aslinya itu memenuhi seluruh ruangan gua yang sirkulasi udaranya tidak terlalu bagus itu. Seluruh rombongan meneruskan perjalanan sambil menutup hidung dan mengumpat kepada Kadal dan hanya Kadal seorang yang bahagia karena dia sudah mengeluarkan dengan sukses masalahnya. Sambil bersiul-siul dia meneruskan perjalanan.

Kami sudah seperti saudara. Kedekatanku dengan Kadal dikarenakan mungkin hanya akulah orang yang bisa mengimbangi emosi dan energi si Kadal yang selalu meledak-ledak. Aku tidak usah bertanya kepadanya manakala dia sedang sedih atau bahagia, begitu juga sebaliknya. Duet kami dalam bercandapun sering membuat teman-teman berpikir bahwa kami adalah anggota baru Srimulat. Kamipun mempunyai tokoh idola yang sama yaitu Norman Edwin dan Soe Hok Gie yang juga mengabdikan hidupnya pada alam, bahkan sampai akhir hayatpun mereka kembali ke alam. Bahkan untuk urusan wanitapun kadang-kadang kami mempunyai selera yang sama, dan akhirnya kami juga sama-sama menjadi korban keangkuhan hati seorang wanita. Aku dan dia mempunyai pemikiran yang sama yaitu bahwa alam merupakan guru yang terbaik dan apa yang bisa dilakukan manusia selain belajar memaknai kehidupan langsung dari alam. Dan kami akan tetap konsisten bergerak di bidang pecinta alam walaupun kami sudah lulus bahkan sampai tua nanti.

Pada suatu kesempatan, kami pernah ditanyai tentang motivasi kami untuk menyenangi kegiatan seperti mendatangai puncak gunung tinggi, turun ke lubang gua di dalam bumi, hanyut berperahu di derasnya jeram, dan keluar masuk pedalaman yang beresiko tinggi, dan kami hanya bisa saling berpandangan kemudian tertawa lepas. Si penanyapun bingung sendiri, akhirnya hanya bisa mengumpat dan menganggap kami orang gila.

*****

H

ari ini aku ujian pendadaran dan aku menunda keberangkatanku sepuluh hari yang lalu untuk menyelesaikan ekspedisi gunung di seluruh Indonesia yang hanya tinggal Puncak Carstenz di Jayawijaya. Kalo sesuai rencana enam hari lagi Kadal sudah akan sampai di Jogja dan saat itulah pasti dia akan mempersiapkan untuk menyusulku menyelesaikan tugas dan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa. Tapi saat ini pasti dia sedang menikmati dinginnya salju sambil meneguk kopi hangat nun jauh di sana menyelesaikan cita-citanya untuk mendaki semua gunung di Indonesia sebelum lulus. Nggak bisa bayangin bila nanti namanya akan menjadi Ir. Kadal.

Yang kusadari selanjutnya adalah sekret menjadi sangat ramai dengan berbagai macam elemen masyarakat mulai dari tim SAR[4], kepolisian, pihak pengurus Jurusan dan Universitas, organisasi mapala seluruh Indonesia yang memberikan dukungan materiil dan spirituil atas kejadian tersebut. Spanduk besar terbentang bertuliskan “Kadal, jangan patah semangat. Kami semua menantimu di sini

Hari ketiga sejak berita kehilangan enam orang pendaki di Gunung Jayawijaya 5 anggota tim dari mapala kami telah berhasil dievakuasi oleh tim SAR dan sekarang berada di rumah sakit. Semuanya dalam kondisi sehat, walaupun tiga orang diantaranya harus diamputasi ruas jari tangan dan jari kakinya karena mengalami frozzbite[5]. Dan anggota keenam adalah Kadal yang sampai saat ini belum diketahui nasibnya. Hari ke 10 pendakian ke Puncak Carstenz telah mencapai Puncak Ngga Pulu, tinggal selangkah lagi Puncak Carstenz akan tercapai tetapi cuaca tidak kunjung membaik. 5 orang anggota tim pendakian memutuskan untuk berhenti mendaki dan tinggal sementara di dalam tenda sampai badai salju reda, tapi hingga tiga hari badai itu tidak juga reda, bahkan semakin kencang. Aku tahu kau akan tetap mencari mata sendu ibumu.

Yang bikin aku sebel adalah ada beberapa kawan kita yang berbasa-basi yang intinya ngomongin tentang keterbatasan dana, malah ada yang tanya: “Gimana nih, Kadal tu masih ngutang duit rokok ama aku” Atau ada yang bilang “Kasihan ya sudah gagal, nasibnya nggak menentu”. Udah ngabisin berapa duit ya, pergi ke Papua. Kau tahu Dal, apa yang kulakukan sekarang ini, aku memilih tidur nyenyak karena Kau pasti tau bahwa berbingung-bingung ria kita pilih ketawa tiwi, genjrang-genjreng Iwan Fals atau membayangkan nikmatnya turun gunung sambil melamun suasana rumah yang siap menanti kita untuk tidur sepuasnya. Apapun yang terjadi, kita memang akan tidur dengan puas dan pulas entah di rumah sendiri atau di rumah abadi.

Jenazah Kadal telah ditemukan pada hari keenam proses evakuasi dengan posisi duduk dan matamu tetap terbuka memandang mata ibumu yang sendu merekah di ufuk timur.

Pernah kita sam-sama susah, terperangkap didingin malam

Terjerumus dalam lubang jalanan, digilas kaki sang waktu yang sombong

Terjerat mimpi yang indah, Lelah

Pernah kita sama2 rasakan panasnya mentari hanguskan hati

Sampai saat kita nyaris tak percaya, bahwa roda nasib memang berputar

Sahabat masih ingatkah, Kau

(Belum Ada Judul, Iwan Fals)

Kuambil telepon genggam dan kutulis sms.

Minggu (Hari ke 6)

dal, akan kucari mata sendumu di Puncak Carstenz

Yogyakarta, 2 Juni 2005

Catatan:

· Dipersembahkan untuk Alm. Affan Iryadi dan untuk orang-orang yang selama hidupnya dipersembahkan untuk alam.

· Terinspirasi oleh kisah Norman Edwin yang meninggal di Gunung Aconcagua (Argentina) yang merupakan gunung ke 4 dalam ekspedisinya mendaki puncak tujuh benua.


[1] Sekret : ruangan sekretariat (basecamp). Penyebutan yang biasa digunakan oleh para mapala.

[2] Mapala : mahasiswa pecinta alam.

[3] Dataran sebelum sampai di Puncak Gunung Merapi atau biasa disebut Puncak Garuda. Disebut Pasar Bubrah karena daerah tersebut banyak dijumpai bongkahan-bongkahan batuan hasil letusan merapi.

[4] SAR : Search And Rescue. Organisasi yang berkencimpung untuk membantu kondisi darurat di alam.

[5] Frozzbite : Penyakit akibat kedinginan yang sangat hebat sehingga tulang mengalami pembekuan, biasanya menunjukkan bagian yang mengalami frozzbite berwarna biru dan harus diamputasi.

Read Full Post »